Senin, 05 Oktober 2015

konglomerasi media


Konglomerasi Media adalah penggabungan-penggabungan perusahaan media menjadi perusahaan yang lebih besar yang membawahi banyak media. Konglomerasi ini dilakukan dengan melakukan korporasi dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi yang  sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara kepemilikan saham, joint venture / merger, atau pendirian kartel komunikasi dalam skala besar baikintergrasi vertikalintergasi horisontal maupun kepemilikan silang. Akibatnya kepemilikan media yang berpusat pada segelintir orang. Contoh dalam hal ini Trans7 dan Trans TV berada pada payung bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh Chairul Tanjung , Global TV, RCTI dan TPI bergabung dalam Group MNC dan bertindak selaku pemilik di Indonesia adalah hary Tanoesoedibyo, TV One dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group dengan Boss utama Abu Rizal bakrie, SCTV yang sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir Metro TV dengan Surya Paloh pemimpinnya yang termasyhur karena wajahnya sering ditampilkan oleh TV yang dimilikinya sendiri. 
Intinya adalah kepemilikan media pada hanya segelintir orang saja, membentuk sebuah gurita media karena satu orang menguasai berbagai media. Mungkin bagi kebanyakan  orang nampaknya hal ini sah-sah saja, karena setiap orang pasti akan selalu berusaha untuk mengembangkan usahanya. Tetapi ternyata konglomerasi mempunyai dampak yang luar biasa berbahaya bagi masyarakat, karena dapat membentuk opini tertentu yang tidak sehat, sterotipe pada suatu hal tertentu dan lain-lain. 
Konglomerasi di Indonesia menyebabkan satu orang dapat menguasai banyak media muncul, sehingga orang tersebut dapat mengendalikan berbagai media dalam satu waktu, dari kebijakan yang harus dianut, berita mana yang layak di publikasikan, nilai-nilai yang dianut dan sebagainya. Akibatnya jika media yang tergabung dalam satu group tertentu maka berita dan informasi yang disampaikan akan homogen. Selain itu berita yang disampaikah hanya berita yang dianggap menguntungan secara ekonomi. Akhirnya Pers tidak lagi dinilai dari seberapa besar nilai berita yang ada, tetapi berapa banyak keuntungan yang akan didapatkan dari pemuatan berita tersebut. Sebetulnya ini merupakan tanda-tanda bahwa  regulasi atau peraturan yang mengatur tentang kepemilikan media tidak berjalan dengan baik. Padahal konglomerasi media berbahaya dan ancaman kebebasan pers.
Contoh ANTV karena saham terbesarnya milik keluarga Bakri, maka bagaimana pun tidak akan pernah ada berita yang akan mengangkat lumpur lapindo dan penderitaan masyarakat yang ada di sana. Televisi lain adalah Metro TV yang sering kali menyiarkan pemberitaan tentang Partai Nasional Demokrat, padahal kalo diperhatikan nilai berita mungkin tidak terlalu tinggi. Tetapi karena kepentingan pemiliknya maka berita tersebut sering muncul. 

Dampak negatifnua

Dampak negatif, opini berita bisa dikuasai oleh beberapa konglomerasi media tersebut, terlebih jika owner media tersebut memiliki kepentingan tertentu, seperti politik, dsb. Dampak paling nyata adalah penyeragaman informasi yang disampaikan kepada publik yang bisa mengarah kepada penyeragaman opini atas suatu fenomena yang disajikan media. Tepatnya, dengan konglemerasi media menyebabkan kita seperti tidak punya pilihan lain dalam melihat dan memahami dunia. Semua masalah dunia dilihat dari cara bagaimana pemilik media melihatnya, kemudian mereka mencoba membingkainya sedemikian rupa seolah hanya itulah pandangan yang dianggap benar (hegemonik) dan yang lain tentu saja salah.

Kali ini bicara soal perlunya ditumbuhkan pengusaha kelas menengah jadi konglomerasi baru. Teori yang dipakai sederhana saja. Menghadapi globalisasi, yang akan membuat dunia tanpa perbatasan, Indonesia perlu lebih banyak lagi konglomerat. Pengusaha kecil tidak mungkin bisa tahan ketika berhadapan dengan multinasional. Padahal, persaingan global menuntut ke situ. 

Mochtar mengacu pada pemerintah Singapura dan Malaysia, yang pada saat ini menggalang perusahaan nasionalnya supaya lebih kuat bertempur di luar negeri. Indonesia, katanya , harus membuat perusahaan “papan tengah” kuat agar bisa menarik perusahaan kecil ke atas. Sungguh suatu ide menarik. Apalagi gagasan itu datang dari orang yang sudah jadi konglomerat dan ingat pada kekuatan ekonomi nasional secara makro. 

Saya tidak tahu bagaimana persisnya usaha yang harus dilakukan untuk mengongkretkan ide Mochtar ini. Selama ini kita hanya bicara tentang perusahaan swasta, BUMN, dan koperasi sebagai tiga pilar ekonomi nasional. Sepintas persepsi yang ada di benak kita: perusahaan swasta paling efisien, produktif, dan di manajemeni secara baik. BUMN adalah perusahaan yang punya hak monopoli, birokratis, dan kurang efisien: sedangkan koperasi adalah badan usaha yang dimiliki para pribadi, kecil, tida dimanajemeni dengan baik, dan sulit berkembang. 

Lantaran kita memandang pelaku ekonomi secara terkotak seperti ini , maka lantas timbul konotasi bahwa konglomerat hanya perusahaan swasta. BUMN, walau besar dan sering punya hak monopoli, dilihat sebagai wajar-wajar saja. Bukankah Pasal 33 UUD 1945 mengatakan bahwa cabang-cabang produksi penting dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara? Bukankah BUMN punya misi pengabdian masyarakat selain harus tetap dapat untung ? Sedangkan koperasi jadi pelaku ekonomi yang perlu dibina, dibantu, dan dibesarkan supaya bisa sejajar dengan kedua pelaku ekonomi lain. Pada kenyataannya, melakukan sterotyping seperti ini bisa berakibat misleading. 

Jadi, perusahaan sebesar apa pun, kalau hanya bergerak di satu bidang saja bukan konglomerat . Sebaliknya, perusahaan kecil yang punya usaha pencetakan, taksi, dan warung tegal bisa disebut konglomerat. 

Begitu juga dengan BUMN. Ternyata tidak semua BUMN punya hak monopoli dan manajemennya tidak baik dan kurang produktif. Bank-bank pemerintah pada saat ini tsedang berjuang keras bersaing dengan swasta. BUMN, seperti TELKOM, sedang melakukan reengineering dalam menghadapi perubahan global yang cepat. Begitu juga dengan PT Indosat, yang terus-menerus berusaha meningkatkan pelayanan 001-nya. Di BUMN saya juga melihat ada banyak aset sumber daya manusia yang masih muda-muda dan punya visi jauh ke depan. 

Mereka sebenarnya punya kemampuan hebat kalau pada suatu saat diberi kesempatan.
Bagaimana dengan koperasi? Inilah jenis usaha yang selalu dibina suatu departemen khusus. Menterinya gonta-ganti. Begitu juga dengan nama departemennya. Kali ini, pembinaan koperasi dibarengkan dengan usaha kecil. Koperasi dan usaha kecil boleh dibina. Tapi jangan sampai terjadi over-managed but underled. Nanti malah tidak pernah jadi besar. Lihat saja, Forrest Gump, yang polio di waktu kecil . Dia justru bisa lari kencang bukan karena dituntun, melainkan karena dibiarkan “jatuh-bangun” oleh ibunya, diberi semangat oleh pacarnya, dan dikejar oleh gerombolan anak-anak nakal. 

Jadi, menafsirkan ide Mochtar Riady jangan sampai salah. Yang perlu digalang bukan cuma usaha menengah swasta, karena konglomerat bukan monopoli swasta. BUMN dan koperasi juga bisa jadi konglomerat kalu sudah diversifikasikan usaha. Dan, usaha menegah milik siapa pun, yang belum diversified, juga perlu digalang. Untuk bisa memenangkan persaingan global, sebuah perusahaan tidak mesti diversified lebih dulu, bahkan sering justru harus memfokuskan diri sendiri pada bisnis pokok ( core business ). 

Satu lagi yang penting, perusahaan menengah tersebut sudah terbukti bisa hidup dan berjuang dalam suatu mekanisme pasar bebas. Bukan tumbuh karena dilindungi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar